Dibandingkan
dengan negara tetangganya, pengalaman Indonesia dalam pendidikan tinggi
termasuk yang paling singkat. Kedua perguruan tinggi induk di Indonesia
yakni Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) baru
dibentuk secara resmi pada tahun 1950. Akan tetapi dalam waktu yang
relatif singkat perkembangan pendidikan tinggi dan lingkungannya telah
cukup mengesankan.
Dari segi
kuantitas, jumlah perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia adalah
sebanyak 48 buah dan menampung sekitar 0,5 juta Mahasiswa serta 40.000
tenaga pengajar. Perguruan tinggi swasta lebih banyak lagi jumlahnya
dengan kapasitas menampung mahasiswa dan tenaga pengajar yang lebih
besar pula. Angka partisipasi perguruan tinggi (persentase jumlah
mahasiswa perguruan tinggi terhadap penduduk berumur 19 - 24 tahun)
adalah sebanyak 5,3% pada tahun 1983 - 1984, meningkat menjadi 8,5% pada
tahun 1988 - 1989, dan mencapai 11% pada tahun 1993 - 1994 (Tilaar,
H.A.R., 1994). Dilihat dari ratio pendaftaran mahasiswa untuk tingkat
perguruan tinggi telah terjadi peningkatan yang mengesankan dalam dua
dekade terakhir ini. Meskipun peningkatan ini mengesankan akan tetapi
belum semua lulusan SLTA tertampung di lembaga pendidikan tinggi setiap
tahunnya.. Pada tahun 1988 - 1989 tercatat 48% jumlah lulusan SLTA yang
tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan diduga jumlah ini akan
meningkat menjadi 52% pada akhir REPELITA V.
Dari segi kualitas,
upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi terus dilakukan. Terobosan
utama sehubungan dengan ini ialah peralihan sistem pendidikan tinggi
dari sistem paket (tradisi eropa kontinental) menjadi sistem kredit
(tradisi Amerika) yang dimulai sejak permulaan dekade 1980. Efektivitas
peralihan sistem ini masih akan terus diuji oleh pengalaman mengingat
tradisi pendidikan Indonesia sejak tingkatan sekolah dasar yang
berorientasi pada sistem pendidikan Belanda. Namun mengingat pendidikan
tinggi di Indonesia yang singkat tersebut, maka harapan untuk
keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan selalu ada.
Ditinjau
dari latar belakang mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi,
kecenderungan pemerataan telah mulai nampak. Pemuda-pemuda dari latar
belakang sosial ekonomi rendah dan dari daerah-daerah berhasil memasuki
perguruan-perguruan tinggi negeri pembina seperti Institut Pertanian
Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajah Mada
(UGM). Perguruan tinggi mulai menampakkan keterbukaan dan lebih
mementingkan prestasi. Ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri
seperti SIPENMARU dan PMDK yang telah dipraktekan selama beberapa tahun
merupakan indikator mengenai hal ini. Di kalangan tenaga pengajar upaya
meningkatkan prestasi atau mutu cenderung meningkat. Hal itu terutama
disebabkan oleh persaingan menjadi tenaga pengajar mulai ketat. Selain
itu semakin banyaknya dosen muda yang melanjutkan pelajaran mendapatkan
S2 dan S3 di dalam negeri maupun luar negeri yang merupakan insentif
bagi tenaga dosen senior untuk meningkatkan pengetahuannya dan mutu
materi kuliahnya.
Penataan bidang ilmu yang diajarkan di
perguruan tinggi mulai dilakukan oleh departemen pendidikan dan
kebudayaan. Bidang ilmu sosial yang paling "laris" dan menampung jumlah
mahasiswa yang sangat banyak mulai ditertibkan. Untuk membuka suatu
perguruan tinggi yang baru sekarang ini dibutuhkan minimum 2 fakultas
dalam bidang ilmu eksakta. Pembukaan politeknik diberikan peluang yang
besar.
Dalam pengelolaan
perguruan tinggi, kecenderungan untuk semakin meningkatkan usaha
wiraswasta semakin menonjol. Hal ini khususnya terlihat pada perguruan
tinggi negeri yang selama ini didukung pembiayaannya melalui anggaran
pemerintah. Sedikit demi sedikit terlihat pelepasan tanggung jawab
pengelolaan dari pemerintah kepada masing-masing perguruan tinggi. Dalam
hubungan itu keterkaitan perguruan tinggi dengan usaha swasta mulai
menampakkan dirinya. Kontrak di bidang penelitian dan pendidikan antara
usaha swasta dan perguruan tinggi mulai dilaksanakan. Minat para
pengusaha pribumi terhadap pendidikan telah mulai nampak. Dapat dicatat
disini Akademi Wiraswasta Dewantara yang dibuka oleh pengusaha
Probosutejo dan kemudian bergabung ke dalam Universitas Mercubuana.
Demikian pula Universitas Sahid Jaya yang dimiliki oleh Sahid Jaya
Group.
Pada sisi lainnya, pendidikan tinggi telah dimanfaatkan
sebagai lembaga usaha dagang. Oleh karena angka partisipasi perguruan
tinggi yang masih rendah dan pembangunan yang berkembang semakin pesat,
kemungkinan untuk menarik mahasiswa ke dalam lembaga-lembaga pendidikan
tinggi yang sedemikian cukup besar. Dari pengalaman terlihat bahwa usaha
sedemikian memberikan hasil yang memuaskan meskipun dalam jangka waktu
panjang. Dengan perkataan lain, masalah mutu pendidikan masih tetap
merupakan masalah yang perlu terus ditingkatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar